Beda perusahaan tentunya beda pula sudut pandang mereka terhadap pentingnya divisi call center. Namun, dalam bukunya bertajuk The Real-Time Contact Center, Donna Flus mengatakan ada beberapa tahapan call center. Yaitu dari sebuah call center menjadi cost-oriented contact center. Dalam tahap ini, contact center bisa menghadirkan layanan yang terstandarisasi, mampu melakukan penjualan, mendukung layanan, dan mampu memerhatikan cost-nya.
Selanjutnya adalah peralihan dari cost-oriented contact center menjadi profit-oriented contact center. Cirinya adalah mampu mendatangkan pendapatan secara maksimal dan berkolaborasi dengan tenaga marketing dan penjual.
Terakhir, peralihan dari profit-oriented contact center menjadi real-time engaged contact center. Di sini contact center bisa memberikan informasi kepada konsumen secara menyeluruh dan real time, bisa menyampaikan tujuan perusahaan sesuai harapan konsumen, kepuasan, loyalty, penjualan, marketing, serta bisa menganalisa hasrat dan kegalauan konsumen.
Terlepas dari anggapan apakah contact center bisa mendatangkan pendapatan bagi perusahaan atau minimal menghidupi dirinya sendiri, harus diakui bahwa peran customer service sangatlah penting. Bahkan, Technical Assistance Research Program Institute of Washington (TARP) pernah melakukan survei terkait penanganan komplain di Amerika Serikat. Menurut TARP, hanya sekitar 5% konsumen saja yang memutuskan untuk mendaftarkan komplain mereka ke tingkat lebih tinggi. Sedangkan sisanya atau 95% memutuskan untuk memilih merek lain ketimbang harus bertengkar. Semua itu tidak terlepas dari kenyataan bahwa komplain tidak tertangani dengan baik dan belum bisa menyelesaikan masalah. Bahkan TARP mengatakan, lebih dari 40% responden merasa tidak puas dengan penanganan komplain yang ada.
Dari riset itu bisa terlihat betapa penting dan besarnya peran customer service. “Servis adalah persyaratan dasar untuk meningkatkan sales. Dan itu menjadi persyaratan dasar dari perbankan,” kata Anggoro Eko Cahyo, Direktur PT Bank Negara Indonesia Tbk.