Hingga hari ini masih bermunculan kabar tentang kondisi perusahaan rintisan atau startup yang sedang tidak baik-baik saja. Kondisi ini ditandai dengan fenomena kebangkrutan dan jamaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di kalangan startup.
Kondisi tersebut dianggap sebagai musim dingin (winter) bagi startup dan diprediksi masih akan berlangsung lama. Realitas ini mendorong para startup dan venture capital (VC) melakukan koreksi diri.
“Sekarang ini, startup sedang mengalami winter. Ini ditandai dengan ketidakpastian ekonomi. Namun, ini hanya efek dari isu dan sistem sebelumnya. Winter ini menjadi katalis bahwa startup itu semakin invalid,” ujar Stephanie Hermawan, Angel Impact Investor dan Partner of Instellar Investment kepada Marketeers.
Kegagalan para startup ini bisa dilihat dari berbagai sisi. Dari kaca mata VC, misalnya, kegagalan tersebut bisa dikarenakan oleh ketidakmampuan startup melakukan scaling bisnis mereka. Bila dianalisis lebih dalam, sambung Stephanie, kegagalan mereka melakukan scaling karena mereka terjebak pada scaling prematur.
“Banyak startup mati dalam keadaan prematur. Mereka masih kecil atau bayi namun dipaksa untuk segera menjadi besar. Ini dikarenakan VC-nya menuntut seperti itu dan tentunya ini menimbulkan masalah,” katanya.
Stephanie menambahkan, para startup mati prematur karena mereka terpaksa mengikuti valuation game. Mereka mau melakukan hal tersebut lantaran terbuai oleh mimpi menjadi unicorn. Prosesnnya pun tak tanggung-tanggung. Mereka harus mengalami growth 5% dalam seminggu – sebuah target yang terbilang mengada-ada. Di mata startup seperti ini, definisi sukses adalah ketika naik kelas menjadi unicorn dengan valuasi miliaran dolar. “Mereka tersihir dengan one billion dollar dream,” katanya.
Setidaknya ada tiga syarat yang diharuskan oleh VC kepada startup yang ingin menjadi unicorn, yakni mampu tumbuh dengan supercepat (hyper growth), memiliki asset-lite, dan high tech. Pada kenyataannya, hanya 0,1% yang bisa memenuhi tiga syarat tersebut atau dengan kata lain 99,9% startup tak memiliki material menjadi unicorn.
“Saat ini, banyak bermunculan fake unicorn. Ibaratnya seekor kuda biasa tapi dipaksa dipasangi tanduk agar kelihatan sebagai unicorn. Ini alasan banyaknya startup berdarah-darah karena mereka sebenarnya tidak tahu siapa dirinya,” ujar Stephanie.
Para startup ini terjebak pada lingkaran setan mengejar valuasi, namun bukan pada fundamental bisnis, seperti cash flow maupun profitablitas. Mereka mengajar akuisisi pengguna dan agar kontinu mereka terus melakukan fundrising. Kondisi membuat startup mengalami winter fundrising yang membuat mereka mati gaya yang berlanjut dengan tren lay-off dan closed down.
Jadilah Zebra
Untuk menjawab persoalan seputar startup ini sebaiknya dimulai dari data. Menurut data dari Silicon Valley, Return on Investment (ROI) para VC sebenarnya hanya 2,9X. Ini tidak sesuai dengan klaim dan janji mereka dengan besaran 10X hingga 100X.
Dari kenyataan tersebut, muncullah konsep Zebra yang dinilai lebih realistis dan berkelanjutan. Hitungan ROI Zebra sebesar 3X s.d. 5X. Beberapa VC juga mulai sadar dan menggubah cara pandangnya pada investasi ke startup yang berkelanjutan.
“Zebra is the new sexy unicorn karena zebra is the real business. Beda dengan unicorn, tiga syarat menjadi zebra antara lain memiliki sustainable growth, cash flow positif, serta fokus pada impact,” kata Stephanie.
Fokus pada impact penting bagi perusahaan rintisan ini. Alasannya, kalau menggantungkan hidupnya pada fundrising dengan sejumlah VC dan masing-masing memiliki kepentingan berbeda, startup tersebut akan mudah berpindah haluan, tidak fokus, dan akhirnya tidak berkembang.
Stephanie membeberkan beberapa perbedaan antara unicorn dan zebra. Menurutnya, orientasi unicorn adalah exponential growth, sementara zebra lebih mengejar sustainable prosperity. Tujuan akhir unicorn lebih ke exit, liquidity event, dan ROI 10X, sementara zebra lebih ke profit, keberlanjutan, dan ROI lebih realistis.
“Sebenarnya, konsep ini sudah muncul tujuh tahun silam di Amerika Serikat. Di sana, VC sudah mulai muak dengan konsep unicorn dengan menolak VC funding dan memilih impact investment. Di sana, ada perkumpulan zebra funder dan zebra founder. Komunitas ini yang juga ingin saya buat di Indonesia. Saya ingin mengubah dan menyelamatkan startup-startup sekarang ini, apalagi yang the next generation. Intinya, jangan toxic lagi dan mereka perlu di-detox,” katanya.
Stephanie menawarkan solusi bagi startup yang ingin menjadi zebra yang lebih berkelanjutan. Ia mengatakan, startup perlu memiliki purpose driven, know yourself, dan scale up right. Para founder juga harus membangun fondasi kuat, baik itu heartset, mindset, dan skillset. Mereka diharapkan tidak lagi terbuai mimpi menjadi unicorn dan akhirnya mati premature, namun mulai belajar membangun bisnis yang berdampak dan berkelanjutan.
“Ingat, purpose+profit is sexy business now!” pungkas Stephanie.