Zenius Education: Karena Rumus, Pendidikan Indonesia Jauh Tertinggal

marketeers article

Teknologi di bidang edukasi atau edtech telah menjadi perkembangan industri teknologi digital di Indonesia. Potensinya pun dianggap mencapai Rp 500 triliun. Ini salah satunya karena terdapat sekitar 60 juta pelajar dari level SD hingga SMA di Indonesia.

Namun, bisnis edtech tak seelok laju bisnis fintech di mana modal ventura berlomba-lomba membenamkan dollarnya di perusahaan yang katanya mendisrupsi peran lembaga keuangan bank itu. Meski satu per satu startup di bidang edtech muncul menawarkan servis yang beragam, belum ada satu pun edtech yang memiliki valuasi besar.

Marketeers mewawancarai salah satu pendiri dari pionir edtech Zenius Education. Perusahaan ini didirikan sebelas tahun lalu oleh duo kakak-beradik, yaitu Wisnu Subekti sebagai CEO dan Sabda PS yang menjadi Chief of Business & Development. 

Awalnya, perusahaan ini menyuplai soal-soal dalam bentuk CD untuk sebuah lembaga bimbingan belajar. Lambat-laun, Zenius berkembang menjadi bimbel online dengan menawarkan metode berbeda dari kebanyakan bimbel pada umumya. Ini kutipan wawancara mereka

Apa alasan Zenius hadir?

Wisnu (W): Pada saat kami memutuskan untuk terjun ke dalam ekosistem pendidikan di Indonesia, saat itu banyak sekali bimbingan belajar yang muncul. Kami menyayangkan keberadaan mereka karena sering kali bimbel ini menggunakan cara cepat dalam mengerjakan soal.

Sayangnya, mereka tidak menyertakan pemahaman konsep akan setiap soal yang diberikan. Pada akhirnya, yang terjadi adalah anak-anak hanya menghafal soal dan rumus, tapi tidak mengerti konteksnya.

Rata-rata, 40% soal Ujian Nasional bisa digunakan dengan cara atau rumus cepat. Namun, kami merasa ada cara yang lebih baik, yaitu bagaiaman memahami konsep dari setiap pertanyaan tersebut.

Ketika kami membuat multimedia learning yaitu Zenius Education (zenius.net), fokus pembelajaran yang kami ajarkan adalah bukan cara cepat. Bimbel tradisional menggunakan cara cepat, karena dengan begitu mereka akan dengan mudahnya menduplikasi cara belajar di mana pun, tanpa harus memikirkan kualitas guru.

Bagimana Anda memandang Kondisi Pendidikan di Indonesia?

Sabda (S): Salah satu pemetaan pendidikan di Indonesia adalah melalui PISA (Programme for International Student Assesment) yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-Operation & Development (OECD). Indonesia bergabung PISA sejak tahun 2000.

Ujian PISA dilakukan tiga tahun sekali kepada siswa usia 15 tahun (setara SMP kelas II atau III). PISA fokus menguji mengenai tiga pelajaran, yaitu sains, matematika, dan reading (membaca). Setiap penyelenggaraannya, materi yang diujikan berbeda-beda. Kadang sains saja, kadang matematika saja.

Pada hasil ujian PISA tahun 2012, 76% siswa Indonesia yang mengikuti tes tersebut tidak bisa mencapai level 2 dalam menjawab soal yang berikan. Artinya, baru dua pertanyaan yang diberikan, mayoritas anak didik kita gagal.

Sabda PS dan Wisnu Subketi, Kakak-beradik pendiri Zenius Education

Dibandingkan dengan negara lain, seperti negara ASEAN, Indonesia termasuk yang berada di level terbawah versi PISA. Bandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia yang tingkat lulus level 2-nya mencapai 48%. Bahkan Vietnam yang PDB-nya di bawah Indonesia memiliki tingkat lulus hingga 86%. Sedangkan Indonesia hanya 24%.

Artinya, bukan sekadar kurikulum yang harus diganti. Akan tetapi, dari segi cara mengajar dan pengajar juga harus berubah. Anak-anak ketika berhadapan dengan soal, selalu berpikir rumus apa yang harus mereka gunakan. Kami sebagai perusahaan teknologi harus berkontribusi meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.

Bagaimana Anda membangun awareness?

W: Sejak hadir pada tahun 2007, Zenius hampir tidak pernah melakukan sounding ke publik. Namun, di mata siswa, mereka mengenal betul Zenius. Sebab, kami fokus membangun awareness di kalangan mereka. Hasil penulusuran di media sosial Twitter, 90% dari komentar atau tweet netizen pengguna Zenius mengaku puas dengan platformm Zenius.

Berdasarkan startupranking.com, Zenius Education berada di posisi kesembilan sebagai perusahaan teknologi bersanding dengan perusahaan marketplace dan online travel agent. Ini menjadi satu-satunya perusahaan edtech yang masuk ke dalam daftar sepuluh besar.

S: Selain itu, akses pendidikan juga penting. Dengan teknologi, akses memang bisa dimana-mana. Namun, yang perlu dipahami, apabila akses sudah baik, tapi isinya “racun”, maka orang akan keracunan.

Karenanya, Zenius menggarap konten begitu lama. Kita sangat konsen terhadap setiap konten yang kami buat. Agar itu tidak terjadi, kami selalu meyakinkan konten kami memang untuk mengasah otak dan logika. Sekali lagi, akses penting, tapi konten jauh lebih penting.

Apa pencapaian Anda selama ini di industri edtech?

W: Produk kami yaitu Zenius.net, telah memiliki 74.000 video dan bank soal. Kami percaya, produk yang berkualitas, pasti laku. Dengan produk yang laku, kami yakin efektif membantu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.

Pertama, kami mengedepankan great learning experience atau pengalaman belajar yang asik. Anak-anak harus “ketagihan” dengan konten video yang kami sajikan.

Kedua, developing logic and scientific literacy. Cara mengajar kami selalu berfokus pada konsep. Hampir semua orang merasa bahwa tujuan belajar untuk menambah pengetahuan.

Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah membentuk pola pikir yang logis. Nahscientific literacy adalah bagaimana seseorang memperoleh metodelogi ilmu yang bisa diandalkan kebenarannya.

Ketiga, deliberate practice and mastery learning atau latihan terencana dan belajar tuntas. Dengan teknologi, memungkinkan anak mengejar pelajaran yang tertinggal.

Zenius memiliki 10,8 juta unique users tahun 2017

38 juta kali views blog

74 ribu video diunggah

314 juta views video

Seperti apa efektivitas Zenius?

W: Saat ini, berdasarkan survei internal kepada pengguna Zenius yang ingin melanjutkan kuliah, 78% dari mereka diterima Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Angka itu setara 18% dari total mahasiswa baru PTN secara nasional.

Bagi anak-anak, itu adalah kebanggan bisa masuk PTN. Yang kami anggap sebagai tolak ukur keberhasilan adalah seberapa ketagihan mereka untuk belajar. Jadi, jangan mereka belajar hanya untuk lulus UN atau masuk PTN. Akan tetapi, setelah lulus pun, mereka tetap belajar.

Bagaimana Zenius memonetisasi dan kapan ada aplikasi mobile?

W: Ketika Zenus.net dikunjungi oleh pengguna, konten video pertama memang gratis. Namun, konten video kedua dan seterusnya akan dikenalan biaya atau berbayar. Biaya membership satu bulan sebesar Rp 165.000. Jika setahun seharga Rp 440.000. Member berbayar akan memperoleh akses full ke semua bank soal dan video dari kelas berapa pun.

Sebab, selama pengalaman kami mengajar, katakanlah mengajar kelas 12, mereka masih banyak yang belum mengerti basic pelajaran di kelas 10. Sehingga, kadang kami harus mengulang. Itu salah satu keunggulan kami.

S: Soal Mobile apps, sampai saat ini memang masih belum ada. Akan tetapi, kami akan develop. Tunggu saja tanggal mainnya.  

Editor: Sigit Kurniawan

Related