Menilik Penggunaan dan Pemanfaatan E-Money di Indonesia

marketeers article

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Financial Inclusion Index (Global Findex) pada 2014, hanya 36% atau setara 90 juta penduduk dewasa Indonesia yang memiliki rekening di bank. Secara persentase, angka ini lebih rendah bila dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Tapi, secara jumlah jelas sangat besar.

Sebagai perbandingan, penetrasi keuangan Indonesia kalah dari Kamboja yang 39% penduduknya memiliki rekening bank. Sedangkan di Thailand, angkanya mencapai 78% dan Malaysia 81%. Di Singapura, hanya 4% penduduknya yang tidak memiliki rekening bank.

Menurut Bank Indonesia, ada dua hal yang menyebabkan jumlah pemilik rekening bank di Indonesia masih sedikit. Pertama, permintaan masyarakat yang terbatas. Ini dikarenakan masyarakat harus menempuh jarak yang jauh ketika mengunjungi kantor cabang bank, antrian yang memakan waktu lama, hingga dokumen yang dibutuhkan terlalu banyak. Kedua, tidaklah mudah bagi suatu perbankan untuk membuka kantor cabang baru. Investasi yang dibutuhkan cukup mahal seperti menyediakan lahan, sumber daya manusia, hingga sistem jaringan.

Bank Indonesia menjelaskan bahwa pemerintah menargetkan sekitar 75% penduduk Indonesia pada 2019 bisa memiliki rekening bank. Pemerintah juga berupaya agar masyarakat yang mendapat akses keuangan adalah yang berpenghasilan terendah, pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM), pekerja migran, perempuan, dan pelajar. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah menambah jumlah agen lembaga keuangan digital yang saat ini telah mencapai 140.743 dan tersebar di 489 kabupaten atau kota.

Upaya pemerintah ini juga didukung banyak pelaku, baik pemain di industri perbankan dan telekomunikasi. Para pelaku perbankan dan telekomunikasi ini mengeluarkan produk berbasis uang elektronik (e-money). E-money diluncurkan agar semakin banyak masyarakat yang dapat mengakses layanan keuangan dari perbankan. Keberadaan e-money diharapkan mendorong terwujudnya cashless society.

Sedikit kilas balik, Bank Indonesia pertama kali menerbitkan izin tentang e-money pada 2009 melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/12/PBI/2009. Data Bank Indonesia mencatat, jumlah uang elektronik yang beredar pada 2016 sebanyak 51,3 juta kartu. Sementara, volume transaksi melalu e-money mencapai 683,2 juta kali dengan nilai Rp 7,1 triliun.

Bila dilihat secara jumlah, transaksi, dan volume, e-money terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan tersebut jauh bila dibandingkan pertumbuhan kartu kredit dan kartu ATM yang pertumbuhannya cenderung stagnan. Sebagai catatan, jumlah kartu ATM dan debit di Indonesia pada 2015 terdapat 112,9 juta kartu. Sementara jumlah kartu kredit di Indonesia pada 2015 mencapai 16,9 juta kartu. Nilai transaksi melalui kartu kredit di 2015 mencapai Rp 281,3 triliun, sementara nilai transaksi melalui kartu ATM dan Debit mencapai Rp 4,4 kuadriliun.

Bila merunut data yang ada, tentunya e-money menjadi salah satu alternatif yang amat potensial untuk menggenjot peningkatan inklusi keuangan. Perusahaan telekomunikasi dan perbankan pun berlomba-lomba mengeluarkan layanan dan produk e-money. Hampir seluruh perbankan besar di Indonesia saat ini memiliki layanan e-money, hal yang sama juga terjadi di perusahaan telekomunikasi. Hebatnya, langkah mereka juga dibuntuti oleh pelaku fintech startup yang memiliki skala lebih kecil namun pergerakannya amat lincah.

Pelaku e-money dari perusahaan telekomunikasi, Dompetku, beranggapan bahwa kompetisi di e-money adalah saling melengkapi. “Kami mengisi celah yang tidak diambil oleh perbankan. Kami tidak mau berantem sama bank, tapi mengambil yang bank tidak mau masuk,” ujar Randy Pangalila Head Mobile Financial Services Indosat Ooredoo.

Sampai tahun ini, setidaknya ada lebih dari 135 pelaku fintech startup berdasarkan data Indonesia Fintech Association. Sekitar 43% dari jumlah tersebut bergerak di bidang pembayaran. Beberapa pemain fintech startup yang bergerak di sektor pembayaran adalah Doku, Kartuku, Midtrans, Kesles, Go-Pay dan masih banyak lagi.

Nadiem Makariem selaku CEO Go-Jek pernah berujar bahwa misi Go-Pay adalah untuk memberdayakan sektor informal. “Kami membantu para pelaku di sektor informal untuk masuk ke dunia profesional sehingga mereka bisa berhubungan langsung dengan konsumen yang lebih besar. Jadi peluang mereka untuk berkembang jadi semakin terbuka luas,” kata Nadiem.

Para pelaku fintech startup yang bergerak di sektor e-commerce dan marketplace juga meluncurkan fitur pembayarannya sendiri. Misalnya, Bukalapak dengan fitur Bukadompet, Tokopedia dengan fitur saldo, Kaskus dengan Brankas dan KasPay. Dari 22 pemilik lisensi e-wallet di Indonesia, hanya enam yang merupakan pemain fintech startup. Sisanya dipegang oleh perbankan dan perusahaan telekomunikasi.

 

 

Related