Your brand is your mark of distinction. Pada dasarnya, brand (atau merek) dibuat untuk membedakan produk atau jasa Anda dari kompetitor. Ketika sebuah merek membangun brand management, hal tersebut dapat meyakinkan pelanggan, pemasok, atau siapa pun bahwa perusahaan Anda melakukan bisnis yang dapat dipercaya,
Apa manfaat mengelola merek bagi sebuah brand? Secara sederhana, perusahaan memerlukan pengelolaan merek untuk menjadikan produknya lebih dikenal orang. Di sisi lain, lewat brand management, merek dapat meningkatkan customer value terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Merek akhirnya mampu tampil beda atau stand out dari para pesaing yang mulai banyak jumlahnya.
Customer value selama ini didefinisikan sebagai manfaat yang diterima pelanggan saat membeli produk, ketimbang apa yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa manfaat fungsional maupun emosional.
Konsep brand management itulah yang menjadi perhatian utama dari Tanamera Coffee, merek kedai kopi dalam negeri yang mengusung specialty coffee (kopi spesial) asli Indonesia. Dengan jumlah kedai kopi yang terus bertumbuh di berbagai kota nusantara, Tanamera memosisikan diri sebagai pemain kopi spesial terbaik di kelasnya, yang membawa standar internasional ke pasar kopi Tanah Air.
“Banyak kedai kopi yang mengklaim sebagai specialty coffee, tapi ternyata belum standar internasional. Saya melihat ada gap di pasar Indonesia mengenai kopi yang disajikan dengan para peminumnya,” ujar Dini Aryani Criddle, pemilik Tanamera Coffee saat ditemui di kedai pertamanya di Thamrin Office Park, Jakarta.
Awareness mengenai kopi menjadi “pekerjaan rumah” bagi setiap kedai kopi di Indonesia. Terutama bagi Tanamera Coffee yang mengusung kopi spesial. Logikanya, tidak semua orang tahu perbedaan antara robusta dan arabika. Apalagi kopi spesial.
“Kalau ditanya awareness-nya, di awal-awal memang sulit. Konsumen tak peduli mengenai kopi yang mereka minum. Misalnya, masih banyak orang yang minum cappuccino pakai gula,” terang Dini. Ia melanjutkan, lambat-laun orang mulai sadar akan kopi yang baik. “Dan sekali mereka minum good coffee, mereka tidak akan balik lagi mencoba yang lama,” paparnya lagi.
Kopi spesial sederhananya merupakan produk kopi yang ditujukan untuk para spesialis kopi. Semua tahapan dalam menghasilkan kopi tersebut dilakukan dengan kaidah yang sesuai standar, mulai dari pengelolaan kebun, panen, proses paska-panen, roasting hingga penyeduhan.
Ada beberapa syarat sebuah kopi disebut sebagai specialty grade. Salah satunya, petani hanya memetik buah kopi yang berwarna merah saja, yang kemudian diproses menjadi green bean.
“Banyak petani yang buru-buru memetik buah kopi agar bisa cepat dijual. Kami katakan kepada petani untuk menunggu sebentar, dan kami akan beli dengan harga 20%-30% lebih mahal agar bisa mendapatkan kopi spesial,” terang lulusan pariwisata ENHAI ini.
Dini meyakini, merek yang baik berawal dari produk yang baik. Karena bertekad menjadi world class specialty green bean, Tanamera pun menggelontarkan investasi yang sepadan, mulai dari mesin, desain interior, roasting, hingga karyawan yang bekerja di dalamnya. Semua harus memiliki level terbaik.
“Kami ingin menjadi brand yang lekat sebagai grade one green bean di Indonesia. Dan kami bertekad mengangkat kopi Indonesia naik kelas ke panggung internasional,” kata Dini yang bersama suaminya Ian Criddle membangun kedai kopi ini pada tahun 2013.
Menyajikan kopi spesial hingga tersedia di depan pelanggan memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Apa yang kita minum saat ini adalah buah hasil produksi satu atau dua tahun sebelumnya. Selain volume produksi yang harus dijaga, kualitas kopi yang dihasilkan petani juga harus konsisten, atau selalu mengalami perbaikan.
Dini mengatakan, salah satu tantangan yang ia hadapi adalah memilih bibit kopi terbaik yang akan dikembangkan. Ia mengaku menerima sample biji kopi hampir setiap hari dari petani yang ingin menjadi mitranya.
“Memilih bibit mana yang berpotensi bagus itu sulit. Kalau dilihat ada potensi, baru tim kami pergi ke lokasi perkebunannya. Dan kami mengedukasi petani perlahan-lahan bagaimana memanen biji kopi yang spesial itu,” tuturnya.
Sebab, permasalahan yang terjadi di petani bukan faktor kemiskinan semata. Infrastruktur dan fasilitas pun turut menjadi soal. “Bayangkan, jarak dari Labuan Bajo ke perkebunan mitra petani kami di Flores sejauh delapan jam perjalanan darat,” cerita Dini.
Dini mengaku, di saat permintaan kopi spesial sedang tinggi-tingginya, banyak petani menaikkan harga. Di satu sisi, Tanamera tidak ingin menekan petani. Di sisi lain, pihaknya juga tak mau membebankan kenaikan harga kepada konsumen.
“Harga kita sedari awal tak berubah. Saya ingin bertemu pelanggan saya setiap hari. Ketimbang ia datang sebulan sekali,” pungkas wanita Sunda ini.
Bagi merek yang tengah mengedukasi pasar, strategi pricing juga menjadi perhatian. Jangan sampai, harga yang dibebankan dipersepsikan mahal oleh banyak konsumen. Sehingga, visi Tanamera untuk memperkenalkan kopi spesial Indonesia menjadi terhalangi.
“Toh, kembali lagi. Brand yang dikelola dengan baik bisa membuat orang tak lagi memikirkan harga. Kalau dia sudah suka sama kopinya, mereka akan tidak peduli berapa harga yang mereka bayar,” akunya.
Kopi dan Musik
Untuk memberikan nilai tambah dari produknya, Tanamera memberikan sentuhan pengalaman lewat setiap gerainya. Tidak hanya interior yang Instagramable, melainkan musik di dalam gerai juga harus dikurasi sedemikian rupa. Pasalnya, musik mampu mengubah mood seseorang.
Dini menceritakan, pihaknya bekerja sama dengan komunitas Disc Jockey (DJ) dan musisi lokal untuk membuat playlist (daftar lagu) yang diputar di dalam gerai. Secara detail, ia membagi musik mana yang cocok untuk diputar pada pagi, siang, dan malam hari. “Saya yang memilih playlist-nya. Para musisi lokal yang membantu ngemix lagu itu,” papar Dini.
Kecintaan sang pemilik pada musik menjadikan Tanamera mulai masuk ke ranah musik, lewat berbagai kemitraan maupun sponsorship marketing. “Saya suka musik indie. Musik yang tidak mainstream.” Dia menambahkan, Tanamera fokus berkolaborasi dengan musik-musik yang digemari anak muda.
“Kenapa anak muda? Sebab, younger generation are willing to share a good product. Saya yakin kami menawarkan produk yang baik,” jawabnya.
Karena alasan itulah, Tanamera mulai mensponsori konser musik yang kebanyakan audiensnya adalah anak muda, seperti Tame Impala, M83, dan Morrissey. “Dengan musik, semakin mudah bagi kami untuk mengedukasi pasar mengenai kopi spesial Indonesia berstandar internasional.” komentarnya.
Saat ini, Tanamera memang baru memiliki lima gerai, dengan rincian empat gerai di Jakarta dan satu di Serpong. Hingga akhir tahun, pihaknya akan membuka setidaknya empat hingga lima gerai lagi, yaitu di Bali, Makassar, beberapa bandara di Indonesia, serta satu gerai di negara ASEAN. Sayangnya, Dini masih menutup rapat-rapat soal rencana ekspansinya itu.
Sedangkan, dalam jangka panjang, Tanamera ingin membuat laju bisnisnya berjalan berkesinambungan. Alasannya, pertumbuhan kedai kopi di Indonesia melesat. Namun, pada akhirnya banyak yang berguguran.
“Kuncinya adalah pada produk yang bagus. Saya yakin, kedai kopi yang mampu men-deliver produk yang baik ialah yang akan bertahan,” terangnya.
Selain produk, model bisnis pun juga harus sehat. Artinya, tidak semua peluang adalah uang. Sebagai pebisnis, Dini harus memilih secara jeli mitra bisnis mana yang dapat mengembangkan jaringan kedai kopi Tanamera secara berkesinambungan. Artinya, tidak semua tawaran kemitraan lantas diiyakan oleh Dini.
“Ada sekitar 350 orang yang ingin menjadi mitra bisnis kami, atau bisa dibilang ingin membeli waralaba Tanamera. Tapi dari ratusan itu, baru dua mitra yang kami pilih,” kata Dini.
Ia menjelaskan, banyak sekali orang berduit yang ingin memiliki kedai kopi, namun kadangmereka tak menghitung risiko investasi yang dikeluarkan serta kapan waktu pengembalian modal terjadi. “Kami menjanjikan kurang dari dua tahun, mitra bisnis kami balik modal. Atau sekitar 15-18 bulan,” jelas Dini.
Mengapa ia bisa yakin seperti itu? Sebab, ada beberapa syarat sebelum pihaknya mengetuk palu kerja sama dengan investor. Pertama, lokasi harus mendukung. Sebelumnya, perlu ada feasibility study menyangkut demografi kawasan, rata-rata penghasilan orang yang berlalu lalang di kawasan itu, serta tingkat okupansi gedung (jika berada di dalam gedung perkantoran/mal).
Kedua adalah komitmen. Apakah mitra bisnis memiliki passion untuk sama-sama membesarkan gerainya atau tidak. Jangan sampai karena hype ingin punya kedai kopi, seseorang mengucurkan investasi yang tak sedikit, namun tak menghasilkan profit. Yang, pada akhirnya, gerai malah banyak yang tutup. Alhasil, brand pun menjadi buruk di mata konsumen.
“Banyak pula rekan saya yang ingin bermitra, namun saya tolak karena tidak sesuai dengan kriteria itu. Lebih baik mereka marah sama saya saat ini, daripada hubungan saya dengan mereka ke depannya menjadi tidak bagus,” selorohnya.
Ia melanjutkan, “Saya menyadari bahwa menjadi pebisnis itu jangan serakah. Bisnis yang berorientasi jangka panjang jauh lebih baik. Dan itu butuh proses. Tidak bisa didapat secara instan.”
Meski banyak yang menilainya sukses, Dini mengaku masih perlu belajar mengenai dunia kopi itu sendiri. Makum, ia sebelumnya bekerja sebagai tim pemasar di Raffles Hospital Singapura.
Di Tanamera, ia lebih memikirkan strategi pemasaran. Sedangkan, rekannya John Lee yang berkebangsaan Korea Selatan adalah ekspertis biji kopi yang membantunya memilih green bean terbaik, sekaligus mengedukasi petani lokal.
“Saya penuh dengan ide-ide bisnis begini-begitu. Sedangkan suami saya lebih detail, mengoreksi mana ide yang dapat dieksekusi dan mana yang tidak. Saya beruntung memilikinya,” curhat Dini yang menyukai olahraga skateboard ini.
Editor: Sigit Kurniawan