Oleh Fahra Affifa, Associate di Quantum Consumer Solutions Indonesia
Usaha TikTok lewat algoritma dalam memosisikan ulang citranya telah berhasil mendorong khalayak untuk tidak hanya mengonsumsi, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam kreasi konten. Kondisi ini pun akhirnya berujung pada masifnya kuantitas dan variasi user-generated content yang beredar dalam platform tersebut.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah: bila semua bebas berekpresi di TikTok dan rentang atensi khalayak kian menjadi langka, bagaimana kreator satu bisa menonjol dibanding dengan lainnya?
Untuk bisa mengonversikan kreasi menjadi engagement –bahkan monetisasi–, gambaran identitas yang distingtif melalui ekspresi diri dapat diadopsi dalam usaha kreator menonjolkan dirinya. Nampaknya, algoritma TikTok yang misterius pun berpihak pada kreator yang mampu menyajikan kreativitas unik secara konsisten.
Kita dapat mengambil contoh dari figur kreator TikTok baru-baru ini tampil sensasional, yaitu Jill Shine atau yang akrab disapa Kak Jill atau Jill Gorden.
Jill Shine, seorang pemiliki bisnis rumahan yang menjual gorden ruangan kini menjadi figur populer di media Indonesia sejak akun TikTok-nya menjadi viral pada awal tahun 2022.
Secara konsisten, ia memanfaatkan TikTok sebagai sarana untuk mempromosikan bisnisnya. Namun alih-alih melakukan hard-selling dan berfokus pada produk yang dijualnya, Jill berhasil membangun persona publik yang begitu unik dan kuat, sehingga berhasil membangun ikatan emosional yang erat dengan khalayaknya.
Pembangunan identitas diri dilakukan secara rapi dan konsisten. Ia kerap tampil percaya diri dengan penampilan yang unik dan riasan ‘Kak Jill’ yang khas. Pembawaan diri –dari intonasi suara, ekspresi wajah, hingga gestur tubuh secara detail ditonjolkan- menjadi bagian dari branding personalnya.
Hal ini kemudian dirangkum dengan jargon-jargon yang keluar secara repetitif saat ia memasarkan produk gordennya; mulai dari “10 glombang kiri, 10 glombang kanan” hingga “diskon spesial dari supa dupa TikTok”.
Kini, selain dari omzet penjualan produknya yang kian naik, Jill Gorden telah memiliki lebih 2 juta pengikut setia di TikTok. Jill Gorden merupakan contoh sukses dari khalayak yang mampu mengonsolidiasikan kreativitas, ekspresi diri yang autentik, dan kapitalisasi dari kesempatan yang disajikan algoritma TikTok.
Ledakan adopsi TikTok pada akhirnya tidak hanya berkontribusi pada kelahiran berbagai figur dan referensi budaya populer yang distingtif pada jagat internet Indonesia – tetapi juga terbukanya arena baru bagi entitas bisnis dalam berinteraksi dan membangun hubungan dengan konsumen.
Apa implikasinya bagi brand?
Kita telah membedah bagaimana prinsip-prinsip teknis TikTok telah memungkinkan platform tersebut menjadi sumber hiburan dan informasi terdepan pada era atensi ekonomi ini. Kemudian, nilai autentisitas dan konsistensi juga kian menjadi penting bagi kreator yang ingin menonjolkan diri di tengah hiruk pikuk arena TikTok. Hal ini akhirnya dapat diadaptasi oleh brand dalam menekankan presensinya di platform tersebut.
Dalam konteks ini, personifikasi brand akhirnya menjadi hal yang krusial. Contoh sukses dalam pengaplikasian strategi personifikasi brand datang dari Duolingo – sebuah perusahaan teknologi yang menyajikan aplikasi belajar bahasa.
Melalui akun TikTok-nya, perusahaan memberikan ‘wajah’ pada brand dengan menampilkan maskot burung hantu yang disebut dengan Duo. Alih-alih menjual jasa produknya secara gamblang, Duolingo justru mengadopsi ‘bahasa’ khalayaknya – dengan menyajikan konten komedi ironis, menunggangi tren viral, dan berinteraksi secara langsung dengan konsumen di kolom komentar pengguna TikTok lainnya.
Contoh lain datang dari akun TikTok Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Mulai dari melibatkan anggota dari kalangan generasi Z, menampilkan referensi budaya populer Jepang yang diminati khalayak muda, dan secara konsisten membawa nilai komedi pada konten-konten edukasi mengenai COVID-19, lembaga tersebut berhasil melepaskan diri dari citra formal dan autoritatif yang dilekatkan pada lembaga pemerintahan umumnya.
Berangkat dari ilustrasi-ilustrasi di atas, dapat dikatakan bahwa strategi ‘konvensional’ brand dalam menampilkan gambaran diri yang terpoles dan terkurasi kini menjadi kurang relevan. Terutama dalam konteks TikTok yang menekankan pada nilai hiburan dan kebebasan ekspresi diri. Brand kini juga diharapkan dapat menghadirkan identitas yang autentik dan relevan bagi khalayak.
Konsumen kian merasa jenuh atas paparan iklan dan segala usaha promosi gamblang yang dikerahkan pelaku bisnis di jagat media sosial. Dalam kasus ini, personifikasi brand yang menekankan pada autentisitas dan relevansi kian menjadi penting.
Brand perlu ‘menghidupkan’ identitasnya dan memposisikan diri sebagai bagian dari kolektif TikTok yang lebih besar, alih-alih hanya menjual sebuah produk.