Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berkomitmen untuk mendukung dekarbonisasi di sektor pelabuhan. Oleh karena itu, bahan bakar rendah karbon untuk pelayaran mulai dimaksimalkan pada 2036 dengan campuran e-amonia, hidrogen, dan biofuel.
“Kementerian Perhubungan terus mengoptimalkan pengembangan sektor transportasi laut yang berdaya saing, dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN),” kata Arif Toha, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (29/10/2022).
BACA JUGA: Gandeng BRIN, Kemenhub Siapkan Sistem Cerdas Navigasi Pelayaran
Hal tersebut disampakan saat dirinya menjadi salah satu pembicara dalam acara G20 Side Event: International Conference on Shipping Decarbonization in Indonesia, yang diselenggarakan oleh Kemenko Bidang Maritim dan Investasi dan Otoritas Maritim Denmark. Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 432 Tahun 2017, saat ini terdapat 636 pelabuhan yang digunakan untuk melayani transportasi laut, 57 terminal yang merupakan bagian dari pelabuhan, dan 1322 rencana lokasi pelabuhan.
Indonesia terletak di lokasi yang strategis pada jalur perdagangan dunia yang mana 90% perdagangan internasional dilakukan melalui laut, dan 40% di antaranya melewati perairan Indonesia yang berpotensi menimbulkan pencemaran air yang sangat tinggi dari kapal. Ada sekitar 1.241 pelabuhan di Indonesia yang aktif beroperasi dan berpotensi meningkatkan perekonomian yang berkelanjutan.
BACA JUGA: Kemenhub Siapkan Fasilitas Listrik Darat di Pelabuhan, Ini Alasannya
Langkah-langkah wajib untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari pelayaran internasional telah dimulai sejak 1 Januari 2013, di antaranya semua kapal baru (di atas 400 gross ton) harus dirancang untuk mencapai Energy Efficiency Design Index (EEDI) di bawah patokan standar yang dipersyaratkan. Kemudian semua kapal wajib membawa dan menerapkan Ship Energy Efficiency Management Plan (SEEMP) untuk semua kapal dengan menggunakan Energy Efficiency Operational Indicator (EEOI) sebagai alat monitoring dan sebagai patokan.
Arif menjelaskan terkait Gas Rumah Kaca, saat ini yang berlaku di IMO, yaitu 2018 Initial IMO GHG Strategy, dengan target mengurangi emisi GRK sebesar 40% pada tahun 2030 dan 70% untuk 2050. IMO mengadopsi strategi awal pengurangan emisi GRK dari kapal, menetapkan visi yang menegaskan komitmen IMO untuk mengurangi emisi GRK dari pelayaran internasional dan menghapusnya secara bertahap.
“Sebagian negara menyatakan zero emission pada tahun 2050, namun terdapat beberapa negara juga yang menetapkan net zero emission pada tahun 2060, yaitu Indonesia, Rusia, China, Saudi Arabia, Ukraina, Sri Lanka, Nigeria dan Bahrain,” ucapnya.
Adapun upaya penurunan emisi GRK dalam rangka mencapai NZE 2060 yang saat ini dilakukan oleh subsektor transportasi laut adalah penggunaan SBNP solar cell, melakukan efisiensi manajemen operasional pelabuhan, yaitu dengan fasilitas Onshore Power Supply (di Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, Balikpapan, Batam, Dumai, Cilacap, Banjarmasin, Kumai, Sampit, Benoa, Lembar, dan Kupang (21 Pelabuhan), melakukan modernisasi kapal penggunaan Bahan Bakar Nabati (B30), melakukan konservasi energi di kapal dan pelabuhan, dan pengembangan ecoport melalui penggunaan EBT di pelabuhan seperti PLTS, LPJU solarcell.
“Selain itu Indonesia juga aktif menjalin kerja sama terkait dengan negara-negara lain dengan dukungan dari IMO Technical Cooperation Program, di antaranya Bluesolution, yang bertujuan dalam pengurangan emisi GRK melalui penggunaan teknologi,” tuturnya.