Mendalami Konsep Ekonomi Sirkular Lewat Buku The Future is Circular
Pemerintah Indonesia telah membuat Peta Jalan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau disebut juga Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia 2030. Hal ini sejalan dengan kebijakan pembangunan rendah karbon yang kemudian diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Salah satu komitmen Indonesia dalam upaya pembangunan rendah karbon Indonesia adalah menetapkan target nasional penurunan emisi sebesar 27,3% pada 2024. Tentunya, untuk mencapai target-target tersebut, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dan perlu didukung semua elemen masyarakat dan pelaku usaha.
Untuk mendukung target tersebut, Kementerian PPN/Bappenas bersama United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia dan didukung Pemerintah Kerajaan Denmark meluncurkan buku “The Future is Circular: Langkah Nyata Inisiatif Ekonomi Sirkular di Indonesia”.
Melansir dari situs Bappenas.go.id, buku yang diluncurkan Agustus 2022 lalu ini berisi beberapa komitmen terkait target pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi. Terdapat pula target-taret SDGs dan penerapan ekonomi sirkular dalam beberapa pilot project untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya, mendesain produk agar memiliki daya guna selama mungkin, dan mengembalikan sisa proses produksi dan konsumsi ke dalam siklus produksi.
BACA JUGA: SDGs Dorong Kolaborasi Pembangunan Berkelanjutan di Desa
Ekonomi sirkular, dalam pembahasan di buku The Future is Circular, tak hanya membahas pengelolaan limbah melalui praktik daur ulang, tetapi juga tentang efisiensi sumber daya, dan serangkaian intervensi di seluruh rantai pasok.
Memuat inisiatif penerapan konsep ekonomi sirkular dari 36 inisiator dari berbagai sektor, aktor seperti pemerintah, pelaku usaha dan LSM, buku ini menjelaskan bahwa ekonomi sirkular diharapkan dapat menggantikan ekonomi linear di Indonesia, yang masih berkonsep ‘ambil-pakai-buang’ yang tidak berkelanjutan untuk jangka panjang.
“Kami ingin memulai gerakan ekonomi sirkular untuk pembangunan Indonesia ke depan. Hal ini dimulai dengan pemahaman yang sama di antara kita semua, dimulai dari kementerian/lembaga, perwakilan usaha, dan media,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam dalam laporan tertulis. “Harapannya, saat kita mengatakan ekonomi sirkular, yang dibahas itu sama. Kami sudah melakukan studi di Bandung dengan UNDP dan Denmark, kalau ekonomi sirkular diimplementasikan, memiliki manfaat sangat banyak bagi Indonesia.”
Menurut studi yang dipaparkan di dalam buku, secara akumulatif, manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang diperoleh dari 36 inisiatif yang sudah dijalankan dapat mencapai pengurangan emisi lebih dari 1,4 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Ditambah, penghematan energi lebih dari 4,8 juta megawatt hour, penurunan konsumsi air lebih dari 252 ribu miliar meter kubik.
BACA JUGA: Kemenperin Dorong Industri Petrokimia Terapkan Ekonomi Sirkular
Selain itu, inisiatif tersebut diklaim dapat memberi penghematan biaya operasional lebih dari Rp 431,9 miliar, penciptaan lapangan pekerjaan bagi 14.270 pekerja, dan yang terpenting, pengurangan sampah lebih dari 827 ribu ton.
Lima sektor ekonomi sirkular
Penerapan ekonomi sirkular di Indonesia, menurut buku “The Future is Circular” difokuskan pada lima sektor, yakni sektor makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, dan sektor elektronik, karena berpotensi meningkatkan Produk Domestik Bruto.
Jika pendekatan ini dapat diterapkan secara kontinu pada kelima sektor tersebut, maka diperkirakan dapat mendongkrak PDB sebesar Rp 593-638 triliun pada 2030. Selain itu, ada potensi untuk menciptakan 4,4 juta pekerjaan dengan 75%, di antaranya diperuntukkan bagi perempuan.
Ditargetkan juga, penerapan ekonomi sirkular di Indonesia melalui kelima sektor tersebut juga dapat mengurangi emisi CO2e sebesar 126 juta ton dan penggunaan air sebesar 6,3 miliar meter kubik di 2030.
Selain program pemerintah bersama UNDP, banyak juga pihak swasta yang gencar mengkampanyekan ekonomi sirkular, tak terkecuali perusahaan multinasional.
Hillari Ignatius Kenneth, CEO dari PT Mahkota Giovey Abadi, perusahaan pembuat botol plastik “travel pack” dengan klien produk F&B yang cukup besar, mengatakan bahwa selain harus lebih “membumi”, upaya membangun kesadaran terkait ekonomi sirkular juga harus menyentuh kaum millennial. Generasi ini merupakan generasi penerus bangsa.
“Sedari awal, konsep ekonomi sirkular harus visible, harus dibawa sedekat mungkin ke komunitas milenial. Konsep circular economy agar terlihat (visible) di pandangan mata para milenial harus hadir di café. Bisa juga hadir di tempat pengelola yang memang sudah aktif menggunakan bahan-bahan recycled plastic dan dapat memajang logo “100% recycled”. Hal tersebut penting untuk konsisten dilakukan oleh pelaku industri F&B agar menjadi trend dan kebiasaan,” kata Kenneth, yang melalui PT Mahkota Giovey memproduksi botol plastik yang 100% dapat didaur ulang.
BACA JUGA: Philip Kotler: Ekonomi Sirkular Merupakan Masa Depan Kita
Rocky P., National Advisor di Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, yang juga merangkap advisor untuk Plastic Waste Management & Marine Litter Prevention di GIZ mengatakan, ekonomi sirkular itu komprehensif. Penanganan sampah atau limbah baik hasil proses produksi maupun pascakonsumsi hanya salah satu komponen.
“Sirkular ekonomi berbicara bagaimana mendesain ulang sehingga sampah atau limbah tidak ada, diminalisir atau digunakan kembali. Pendekatan ini tentunya memperpanjang rantai nilai dan membuka lapangan-lapangan pekerjaan baru,” ujarnya.
Dari sini, Uni Eropa melalui kampanye “Rethinking Plastics – Circular Economy Solutions to Marine Litter” yang dijalankan oleh GIZ, berkolaborasi dengan berbagai stakeholders baik pemerintah, swasta dan NGO. Kampanye ini merumuskan berbagai program dan solusi untuk meningkatkan kesadaran produsen dalam menggunakan produk-produk kemasan plastik bernilai ekonomi tinggi yang dapat didaur ulang.
Proyek yang dibiayai oleh Uni Eropa dan Republik Federal Jerman melalui Kementerian Federal Jerman untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ) ini mendukung transisi menuju ekonomi sirkular untuk plastik dan konsumsi dan produksi plastik berkelanjutan di negara-negara Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia untuk berkontribusi pada pengurangan sampah laut yang signifikan.
Belajar dari Uni Eropa (UE), sejak 2021 blok perdagangan terbesar di dunia tersebut telah melarang penggunaan barang-barang yang terbuat dari plastik sekali pakai, termasuk piring, garpu, pisau, gelas, cotton buds, dan sedotan. Aturan baru tersebut diharapkan dapat mengurangi penggunaan produk plastik sekali pakai yang mencemari lingkungan. Sementara itu, menurut kesepakatan, negara-negara di Uni Eropa juga harus mencapai target pengumpulan 90% botol plastik pada 2029.