Selama ini telah berkembang anggapan bila pemerintahan tak cukup profesional seperti sektor swasta. Rupanya, stigma negatif ini mulai bergeser seiring dengan upaya pemerintah untuk terus berbenah. Tak terkecuali bagi Pemerintah DKI Jakarta. Bahkan, Usahanya ini malah di mereka bisa menjalankan praktik bisnis layaknya perusahaan-perusahaan swasta.
Direktur Eksekutif PT Ciputra Property Tbk Arta Djangkar merupakan salah satu pelaku bisnis yang terkesan dengan pemerintah DKI Jakarta. Ia memandang pemerintah DKI Jakarta mulai menyaingi swasta dari segi bisnis. Misalnya, dalam menangani keluhan warganya, Pemprov DKI Jakarta memiliki aplikasi Qlue.
“Kami pun membahas tentang manajemen keluhan yang dimiliki DKI Jakarta ini dengan tim internal kami. Apakah perusahaan kami memiliki aplikasi yang sama seperti Qlue. Dari hal tersebut, kami bisa belajar dari pemerintah,” ujar Arta dalam acara MarkPlus Center for Public Service di Philip Kotler Main Campus, Jakarta, Sabtu (3/9/2016).
Selain Qlue, yang membuat Arta terkesan adalah didirikannya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Menurutya, kehadiran PTSP ini sebagai salah satu cara pemerintah DKI Jakarta meningkatkan servis yang efektif dan efisien kepada warganya. Meski semakin PTSP semakin maju, namun Arta masih mengeluhkan kesulitan dalam mengurus hal-hal rumit seperti IMB (Izin mendirikan Bangunan) di PTSP.
“Yang kami soroti, PTSP jangan sampai multi tafsir dalam mengurus suatu perizinan,” tambah Arta.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat yang hadir dalam kesempatan ini menanggapi hal yang dikhawatirkan Arta. Djarot menyebutkan, meski petugas telah mendapatkan edukasi, tapi ia menilai ada petugas yang belum benar-benar memahami bagaimana menangani perizinan yang sangat rumit.
Dalam hal ini, Djarot menyarankan untuk mereka yang ingin mengurus perizinan yang rumit tidak di PTSP kelurahan, tapi ke PTSP Kota atau BPTSP DKI Jakarta.
Soal multi tafsir yang disampaikan Arta, Djarot pun tak ingin ada lagi multitafsir, yakni area abu-abu dalam perizinan. “Kami tak ingin setiap penafsiran ini akhirnya bertarif, ada harganya. Ini tidak diperbolehkan,” pungkas Djarot.
Editor: Sigit Kurniawan