Pada zaman kerajaan dan karesidenan tempo dulu, para pemimpin cenderung lebih memposisikan sebagai ndoro alias priyayi. Pemimpin yang priyayi itu pemimpin yang ingin dilayani oleh para bawahan maupun rakyatnya. Dikirimi upeti, dituruti keinginannya, misalnya, menjadi sebagian ciri dari mentalitas priyayi.
Anehnya, mentalitas pemimpin maupun golongan atas ini makin diperkuat di masa kolonial Belanda. Kolonialisme menanamkan mentalitas inferior dan minder di kalangan masyarakat terjajah. Mentalitas ini masih bisa dirasakan hingga sekarang. Banyak pemimpin bermental priyayi, sementara banyak warga yang bermental minder. Fenomena inilah yang ingin didobrak habis oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah ke-14.
Salah cara mendobrak mentalitas tersebut, menurut Ganjar, adalah pendidikan politik. Pendidikan politik menjadi program dasar pemerintahan awal gubernur yang menjabat sejak 23 Agustus 2013 ini. Meski awalnya jadi bahan olokan, pendidikan politik ini terbukti menjadi kunci pembangunan di Jawa Tengah.
Dengan pendidikan politik, warga diajari untuk berani menyampaikan aspirasi terkait pembangunan yang menyangkut hajat hidup mereka. Warga dididik untuk berani keluar dari sikap takut dan mindernya. Bagi Ganjar, ini menjadi kunci majunya Jawa Tengah. Twitter, platform 140 karakter, menjadi salah satu pilihan media pendidikan politik tersebut.
“Saya pun membuat wadah untuk penyampaian aspirasi. Program ini dinamakan dengan “JaTeng Tanpa Lobang.”Ini sudah berjalan dua bulan. Warga sangat antusias berpartisipasi. Mereka memotret jalanan di daerahnya yang rusak atau berlubang dan mengirimkan ke akun Twitter saya @ganjarpranowo,”ujar Ganjar.
Upaya Ganjar ini mendapat respons positif dari warga. Banyak warga yang berani menyampaikan aspirasi dan keluhan, khususnya terkait kondisi jalanan, kepada Ganjar. Selain itu, Ganjar selalu merespons dengan cepat dengan memerintah aparat terkait untuk tindak lanjut.
Selain itu, lelaki kelahiran Karang Anyar, Jawa Tengah, 28 Oktober 1968 ini, mengusung gaya kepemimpinan yang egaliter. Egalitarian ini dianggap sebagai cara memimpin yang cocok di era horizontal seperti sekarang ini. Tak kalah penting, Ganjar sejak masa kampanye menjadi gubernur, ingin menjauhkan birokrasi dari mentalitas priyayi dan korup. Semangat yang ia usung adalah “Mboten Ngapusi, Mboten Korupsi”(tidak berbohong, tidak korupsi – red). Budaya bersih inilah yang oleh Ganjar diklaim sebagai modal awal untuk membangun Jawa Tengah dengan lebih baik lagi.
“Saat ini, para kepala daerah sudah tidak zamannya lagi bermentalndoro (priyayi – red). Pemimpin yang model ini dipastikan agar ditinggalkan rakyatnya. Sebab itu, pemimpin sekarang harus menunjukkan secara nyata kepeduliannya pada warga. Mau tidak mau, suka tidak suka, pemimpin harus seperti itu,”pungkas Ganjar.